SMP Terbaik dan Terfavorit

Daftar 29 SMP Swasta dan Negeri Terbaik dan Terfavorit di Indonesia.

Link Website Sekolah

Beberapa link website dari sekolah-sekolah terbaik dan terfavorit dengan penjelasan yang lebih rinci.

Indonesian Education in Crisis?

Why Indonesian education is in crisis?

Menuju Status Favorit

Semua SMA di DKI akan berstatus "Favorit".

Rabu, 18 Maret 2015

Teknologi yang Dipakai Umum

Teknologi terutama dalam bidang komunikasi sudah dipakai oleh masyarakat umum. Berikut adalah beberapa merek-merek yang paling banyak dipakai oleh umum.

1. SmartPhone
Merek-merek yang paling banyak dipakai :
- iPhone
- Samsung
- Sony Xperia
- Xiaomi
- htc
- dll.

2. Laptop


MacBook Pro with Retina Display 13-inch 2.6GHz 128GB
Merek-merek yang paling banyak dipakai
- Apple (Mac)
- Asus
- Acer
- hp
- Dell
- dll.

3. Tablet
Image result for apple tablet pc


Merek-merek yang paling banyak dipakai :
- Apple (iPad)
- Samsung (Galaxy Tab)

Kamis, 12 Maret 2015

Are you DARE to the Challenge?


Kuliah di Belanda Tak Seindah yang Dibayangkan...

Selasa, 10 Maret 2015 | 15:54 WIB

M Latief/KOMPAS.comMahasiswa Indonesia di acara StuNed Day 2015, di KBRI Den Haag, Belanda, Sabtu (7/3/2015). Pada awal-awal kuliah semester pertama, ibarat bulan madu, semua yang terlihat dan terasa begitu indah di Belanda.

KOMPAS.com - Riuh suasana aula KBRI Den Haag, Belanda, yang dipenuhi ratusan mahasiswa penerima beasiswa StuNed (Studeren in Nederland) mendadak hening, saat Triyani, mahasiswi S-2 di International Economics and Business, Universitas Groningen (RUG), maju ke depan. Sejenak, semua yang di ruangan terdiam mendengarnya bercerita.

"September lalu, awal datang ke sini, saya sangat happy. Bisa jalan-jalan, mata kuliah belum banyak, cuaca juga bersahabat. Kemudian, saat masuk winter, suhu mulai dingin, bisa minus 9 atau minus 11 derajat," tutur Triyani di acara StuNed Day 2015, Sabtu (7/3/2015).  

Sejak musim dingin itulah, suasanya mulai berubah. Tugas-tugas kuliah semakin menumpuk. Setiap hari Triyani lebih seringngendon di perpustakaan, bahkan bisa sampai jam 12 malam. 

"Dingin, banyak tugas, kangen rumah, kangen gado-gado, kangen pempek, semua menumpuk jadi satu. Saking stresnya, berat saya turun 20 kilogram. Semula berat saya 77 kilogram," tambahnya. 

Triyani menuturkan, pada awal-awal kuliah semester pertama, hidupnya memang terasa nyaman di Groningen, Belanda. Ibarat bulan madu, semua yang terlihat dan terasa begitu indah. Masuk semester dua, ia nyaris tak bisa kemana-mana. 

"Sekarang saya sudah mulai melewati fase itu. Alhamdulilah, saya bisa survive," ujarnya

M Latief/KOMPAS.comKoordinator Beasiswa Nuffic Neso Indonesia, Indy Hardono (kiri), pada kesempatan sama mengatakan bahwa memang secara umum ada empat fase studi yang kerap dialami mahasiswa Indonesia di Belanda. Pertama pertama adalah fase bulan madu (honey moon phase).
Fase studi
Tak semua terasa indah seperti diperkirakan, begitulah kita-kira membayangkan studi di Belanda. Persis seperti yang dikisahkan Triyani. 

Koordinator Beasiswa Nuffic Neso Indonesia, Indy Hardono, pada kesempatan sama mengatakan bahwa memang secara umum ada empat fase studi yang kerap dialami mahasiswa Indonesia di Belanda. Pertama pertama adalah fase bulan madu (honey moon phase). 

"Fase di awal-awal kuliah ini biasa memang begitu. Kaget ataushock itu hal biasa, tinggal bagaimana kita mengolahnya dengan hal-hal positif," ujar Indy. 

Kedua adalah fase ' I hate this country'. Di fase ini biasanya mahasiswa mulai stres. Apa yang ia lakukan selalu salah. Bingung dan tak tahu harus berbuat apa biasanya dialami oleh mereka.

"Kebiasaan anak-anak Indonesia itu adalah sulit menyampaikan masalah. Harusnya tidak begitu, sebab malah akan semakin tidak bagus efeknya. Apapun, bukan cuma masalah akademik, urusan non-akademik juga harus dikeluarkan uneg-unegnya. Urusan kangen rumah, putus pacaran dan lain-lain itu harus diceritakan ke teman atau sahabat. Jangan dipendam," kata Indy. 

Indy mengakui, menyimpan masalah sendiri tanpa bisa mencari rekan atau sahabat yang bisa menjadi tempat berbagi masalah akan berakibat fatal. Ujung-ujungnya, karena urusan emosional, efeknya akan menggangu akademik. Kuliah bisa berantakan. 

"Pasti ada jalan keluarnya kalau mau berbagi dengan orang lain. Di sini ada kan PPI (Persatuan Pelajar Indonesia), harus dimanfaatkan. Harus bergaul," tambahnya. 

Kemudian, fase ketiga adalah fase mulai beradaptasi dengan baik (adjustment and acceptance phase). Mahasiswa tidak lagi kaget. Semua masalah sudah bisa teratasi. Hal-hal yang tidak biasa, menjadi biasa dan lazim. 

"Setelah ketiga fase itu terlewat, fase keempat atau terakhir adalah fase paling membahagiakan, yaitu fase ' I Love Holland'," kata Indy. 

Di fase ini, mahasiswa seperti menemukan apa yang ia cari. Bisa impian awalnya ketika pertama menggagas rencana studi atau hal lain yang tak ia duga. Intinya, lanjut Indy, semua indah pada waktunya. Lebih indah dari fase bulan madu. 

"Ini memang dinamika studi di Belanda. Tak semua juga melewati fase itu, bahkan bisa juga mahasiswa langsung ada di fase keempat. Semua tergantung mahasiswa itu sendiri," ujar Indy.

Senin, 13 Oktober 2014

Menuju Status "Favorit"

JAKARTA, KOMPAS.com - Dinas Pendidikan DKI Jakarta akan menunjuk sejumlah SMA favorit untuk menjadi sekolah pendamping bagi SMA lainnya di provinsi ini. Semua sekolah di DKI pada satu saat nanti diharapkan sama-sama berstatus "favorit".

Setiap satu SMA favorit akan mendampingin tiga sampai lima SMA lain sesuai rujukan dari Dinas Pendidikan DKI. Tujuan rencana ini adalah untuk meratakan kualitas pendidikan di sekolah-sekolah di DKI.

"Maka dari itu untuk menyamaratakan kualitas pendidikan, per tahunnya akan dilakukan secara bertahap 15 sampai 30 SMA dan SMK negeri untuk menjadi sekolah favorit," kata Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta Lasro Marbun saat dihubungi, Selasa (7/10/2014).

Sekolah yang sekarang berstatus favorit dan akan menjadi pendamping bagi sekolah lain tersebut, antara lain adalah SMAN 8 Bukit Duri, SMAN 28 Pasar Minggu, SMAN 78 Kemanggissan, SMAN 68 Salemba, SMAN 81 Makasar, SMAN 13 Koja, dan SMKN 57 Pasar Minggu. 

Menurut Lasro, bentuk pendampingan yang akan dilakukan adalah nantinya para guru, kepala sekolah, dan wakil kepala sekolah dari SMA favorit akan berkunjung dan memberikan pelatihan, serta pembinaan kepada sekolah-sekolah rujukan.

"Kami targetkan tahun 2019, seluruh sekolah memiliki kualitas yang sama dengan sekolah favorit. Setelah itu, sekolah rujukan kami lepas dan kami masulkan guru-guru baru agar semua sekolah di Jakarta jadi sekolah favorit," papar Lasro.

The Jakarta Post - Indonesian Education in Crisis?


Why Indonesian education
is in crisis?


I have no doubt that some will read the byline of this editorial and conveniently turn off or tune out without considering an iota of the argument or rhetoric presented.  It isn’t my country, they certainly are not my children, and whether this country implodes or soars to the heights of success makes little difference to me.

So what is the major malfunction of the Indonesian education system?    Does anyone seriously believe “education” in  Indonesia is on par with the west, or even Asian countries like Japan, Korea or Singapore?  Ask the question another way: If you had to have spinal or brain surgery, would you prefer to have that surgery performed here in Jakarta, in Singapore or Hong Kong?

If you answered “here in Indonesia”, I would presume you either have a very decently western-trained physician, or else no resources whatsoever.  Or at least, none of my Indonesian friends with any money has ever had major medical procedures performed here.  They very readily say they would rather fly to Singapore than trust an Indonesian doctor to open them up.  Which is all one needs to know when it comes to “evidence”of the torturous state of Indonesian education.

Certainly we can take a good deal of time arguing about whose fault it is — but the more immediate and pressing question ought to be why Indonesia has not followed in the footsteps of Hong Kong, South Korea, Singapore and Japan.

Rather than chasing red herrings that lead to nowhere, let us tackle the real problems plaguing the system. Better to kill the disease than merely react the symptoms, after all.

To all of this I am certain there will come shrill protests that my own country, America, is no shining example to follow.  Indeed, my country has created successive generations of people so devoid of morality that it is soon doomed to entropy in the same way that the Roman Empire did.

But one fault is not remedied by pointing out another, and as much as it may please the senses, arguing about my country’s shortcomings does nothing to address the issues that plague Indonesia’s education system.

So what are the major issues here in Indonesia?  Let us look at a few.

First, corruption: the graft and corruption that is Indonesia is almost unparalleled in scope, and its influence on the educational infrastructure of the country can not be overstated.  It is no mistake that diplomas being easily purchased and cash-laden envelopes greasing the wheels for degrees that have not been actually earned play a large part of the reasoning behind informed, well-off people in Indonesia traveling overseas to get medical attention.

Second, integrity (a close cousin of the whole “corruption” thing).  There is none here.  The same person who smiles and assures you all is fine will 10 seconds later stab you in the back with no more than a flinch of a thought, if that.

This general deficiency quite literally bleeds into the educational system in this country. You know, the whole idea of paying for scores related to the national exams (UN) administered, the additional concept (practiced regularly) of envelopes of cash exchanged with administrators or teachers that, magically (or not so magically) seem to correlate to above average marks for students who clearly can barely spell their own names, let alone count and reason higher-level arithmetic.

And thus we come back to the reason well-off Indonesians and expatriates travel overseas for serious medical treatment.

Does anyone see a pattern here?    That I managed to suck $40,000 plus out of your economy (in US$, by the way, not Rp) is just further evidence of where I was educated, and conversely where I was not educated.  Enough said.

The writer, who holds a Master’s degree in education and a Bachelor’s degree in political science and English literature, teaches at an international school in Jakarta.

Education in Indonesia


Education in Indonesia is under the responsibility of the Ministry of Education and Culture (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan or Kemdikbud) and the Ministry of Religious Affairs (Kementerian Agama or Kemenag). In Indonesia, all citizens must undertake nine years of compulsory education which consists of six years at elementary level and three in secondary level. Islamic schools are under the responsibility of the Ministry of Religious Affairs.
Education is defined as a planned effort to establish a study environment and educational process so that the student may actively develop his/her own potential in religious and spiritual level, consciousness, personality, intelligence, behavior and creativity to him/herself, other citizens and the nation. The Constitution also notes that there are two types of education in Indonesia: formal and non-formal. Formal education is further divided into three levels: primary, secondary and tertiary education. Now, in Indonesia the education system is called 2013 Curricullum or "Kurikulum 2013".
Schools in Indonesia are run either by the government (negeri) or private sectors (swasta). Some private schools refer to themselves as "national plus schools" which means that they intend to go beyond the minimum government requirements, especially with the use of English as medium of instruction or having an international-based curriculum instead of the national one.

Pendidikan di Indonesia


Pendidikan di Indonesia adalah seluruh pendidikan yang diselenggarakan di Indonesia, baik itu secara terstruktur maupun tidak terstruktur. Secara terstruktur, pendidikan di Indonesia menjadi tanggung jawab Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (Kemdikbud), dahulu bernama Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia (Depdiknas). Di Indonesia, semua penduduk wajib mengikuti program wajib belajar pendidikan dasar selama sembilan tahun, enam tahun di sekolah dasar/madrasah ibtidaiyah dan tiga tahun di sekolah menengah pertama/madrasah tsanawiyah. Saat ini, pendidikan di Indonesia diatur melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Sistem pendidikan di Indonesia saat ini adalah Kurikulum 2013.
Pendidikan di Indonesia terbagi ke dalam tiga jalur utama, yaitu formal, nonformal, dan informal. Pendidikan juga dibagi ke dalam empat jenjang, yaitu anak usia dini, dasar, menengah, dan tinggi.

Senin, 29 September 2014

Link Website Sekolah (Schools' Website Links)

Untuk mengetahui lebih lanjut, berikut link website tentang beberapa sekolah tersebut :
For more information, this is some of the link of the schools' website :

1. SMP Santa Ursula
http://smp.santaursulajakarta.sch.id/index.php?option=com_content&view=featured&Itemid=435

2. SMP Negeri 115 Jakarta
http://id.wikipedia.org/wiki/SMP_Negeri_115_Jakarta

3. SMP Negeri 1 Surabaya
http://id.wikipedia.org/wiki/SMP_Negeri_1_Surabaya

Diberdayakan oleh Blogger.